Judul : Caffe Latte
Author : Rizka_RiChan
Genre : Romance
Rating : Teenager
Length : Oneshot
Cast : Lee Ho Won / Hoya (Infinite) , Ahn Yeo Rae
FF INI 100% HASIL
PEMIKIRAN AUTHOR. CERITA NYA BENAR – BENAR FIKTIF. TIDAK SESUAI SAMA SEKALI
DENGAN KENYATAAN. AUTHOR TIDAK BERMAKSUD JELEK. AUTHOR HANYA INGIN MENYAMPAIKAN
IDE AUTHOR SAJA. JIKA ADA YANG TIDAK SETUJU DENGAN CAST, ATAU BIAS, ATAU
CRITANYA, AUTHOR MINTA MAAF YA~
NO PLAGIATOR!
Plagiator hanyalah orang – orang yang tidak bisa menghargai hasil orang lain,
yang merusak, dan menyebabkan banyak dampak negative. Saya tahu, FF saya bukan
FF yang sudah sempurna dan bagus, tapi setidaknya hargai ide saya. Saya yakin,
suatu saat plagiator akan merasakan dampak buruk yang pernah dilakukannya dulu.
Maka dari itu, plagiator jauh – jauh ya dari sini.
Author tidak melarang adanya SIDERS.. ^^ Hanya saja, bukannya lebih baik jika kalian member saya komentar, agar saya bisa lebih baik lagi? Bukannya itu hal yang baik? Saya akan benar – benar berterima kasih untuk itu. ^^Warning! Hoya milik tuhan, keluarga, infinite, dan fansnya. Sedangkan Yeo Rae adalah karangan saya.
Author tidak melarang adanya SIDERS.. ^^ Hanya saja, bukannya lebih baik jika kalian member saya komentar, agar saya bisa lebih baik lagi? Bukannya itu hal yang baik? Saya akan benar – benar berterima kasih untuk itu. ^^Warning! Hoya milik tuhan, keluarga, infinite, dan fansnya. Sedangkan Yeo Rae adalah karangan saya.
Oke, Mianhae author
banyak omong.. ._.v Enjoy Reading and don’t forget to give a comment! Itu
sangat berarti buat author..^^
Aku menyusuri jalanan yang terasa asing bagiku. Aku mencoba
menghapal dan mengingat – ingat arah. Yah, dulu aku memang sangat
mengenali tempat ini. Namun terasa berbeda setelah aku meninggalkannya
10 tahun yang lalu.
Aku terus berjalan,
melewati banyak hal yang membangkitkan kenangan ku kembali. Aku
mengedarkan pandanganku ke segala arah. Meresapi semua yang ada di sini.
Merasakan sejuknya angin yang lama tak kurasakan. Aku menghentikan
langkahku dan menghirup dalam – dalam udara sejuk ini sembari
merentangkan kedua tanganku. Ku pejamkan mataku dan perlahan – lahan
menghembuskannya. Ini lebih dari indah.
Langkahku terhenti ketika aku melihat padang ilalang dengan pohon rimbun
yang masih berdiri dengan kokohnya. Aku memasuki daerah itu. Masih sama
dengan yang dulu. Ku sentuh rumput – rumput yang tumbuh dan seakan –
akan menari menyambut kedatanganku kembali. Tempat ini, mengingatkanku
pada kenangan 10 tahun yang lalu.
“Umma (ibu) selalu saja begitu! Mengapa semua yang aku lakukan salah di
matanya?!” aku berjalan kesal menuju padang ilalang dan duduk di bawah
pohon rimbun yang berdiri kokoh sembari memangku Jollie, anjing
kesayanganku. Dialah yang selalu menemaniku. Aku selalu membawanya
kemanapun aku pergi.
Setiap hari aku
selalu ke sini. Khususnya ketika aku suntuk dan membutuhkan tempat yang
tenang. Yah, di sini sangat nyaman dan menenangkan. Hanya ditemani
angin, rumput – rumput, dan binatang – binatang kecil.
Aku mencoba menenangkan diriku dan meredam emosi. Ku sandarkan
punggungku pada batang pohon. Ku pejamkan mataku, merasakan indahnya
alam ini. Ku belai halus punggung Jollie.
Tak lama, aku mendengar suara – suara aneh. Sepertinya, tidak hanya aku
yang berada di sini. Namun, siapa lagi? Jarang orang yang mengunjungi
tempat ini. Mereka lebih suka mendatangi gedung – gedung megah dan
menukarkan uangnya dengan barang – barang sederhana berharga ratusan
ribu.
Aku mencoba mencari sumber
suara, berharap bahwa manusialah yang aku temukan nantinya. Aku
mengedarkan pandanganku ke segala arah. Aku semakin penasaran karena tak
juga menemukan sumber suara tersebut. Aku mencoba menengok kebelakang,
siapa tahu sumbernya berada di balik pohon.
Dengan ragu – ragu, aku mencoba menengok ke belakang pohon. Betapa
kagetnya aku ketika mendapati seorang yeoja sedang duduk sembari membawa
buku dan minuman di balik kantong plastik hitam. Di sisi lain, aku
merasa benar – benar lega karena yang kutemui benar – benar manusia. Ku
hampiri dia yang masih sibuk membaca buku sambil sesekali meminum
minumannya.
“Kau sedang apa? Dan apa
minuman yang kau letakkan di dalam plastik hitam itu?” tanyaku sembari
duduk di sampingnya dan meletakkan Jollie di pangkuanku. Dia terlihat
terkejut dan sesegera mungkin menutup buku dan menyembunyikan minuman
serta buku itu di balik punggungnya.
“Ya! Kau mengagetiku! Ah.. ini? Aniyo (Tidak/Bukan). Bukan apa – apa,”
jawabnya cepat dan terbata – bata. Aku melirik plastik dan buku itu dan
sesegera mungkin tanganku menarik kedua benda itu ketika dia lengah. Dia
terkejut dan menatapku dengan tatapan memohon.
Aku membuka bungkus plastic itu dan terkejut mendapati apa yang ada di dalamnya.
“Ini caffe latte! Dan.. dan ini tidak murah. Kau dapat uang dari mana
untuk membelinya? Lagian, bagaimana bisa? Bukannya untuk anak seumuranmu
tidak boleh meminum minuman ini?” aku memberikannya banyak pertanyaan.
Bagaimana aku tidak terkejut? Caffe latte ini bermerek dan sangat
terkenal. Tidak dipungkiri, semua orang tahu bahwa harga nya tidak
murah. Dan untuk anak seumuran kami memang belum diperbolehkan meminum
minuman ini. Kopi bukan untuk anak seumuran kami. Belum.
Selanjutnya, aku membuka buku yang tadi dibawanya. Dan yang kudapati
hanyalah resep – resep kopi. “Dan ini? Untuk apa kau membacanya?”
tanyaku lagi.
Dia terlihat bingung dan seakan – akan mencoba menyusun kata untuk
menjawabnya. Dia menghembuskan nafas kesal sebelum menjawab
pertanyaanku.
"Ya, aku memang salah. Aku memakai uang appa ku untuk membelinya,” jawabnya dengan nada sedikit menyesal.
“Ya! Kau sudah gila?! Sudah jelas – jelas kau melakukan hal yang salah,
dan kau menggunakannya untuk hal yang salah pula?!” tanpa sadar aku
membentaknya. Dia terlalu membuatku terkejut.
“A.. Aku meminjamnya! Me-min-jam! Nanti.. Nanti juga aku kembalikan.”
Jawabnya pelan dengan sedikit penekanan di kata ‘meminjam’.
Aku yang sedari tadi hanya terheran mendengarnya, segera menutup
mulutku. Ku letakkan buku dan minuman itu di sampingnya dan dia segera
mengambilnya. Tidak ada percakapan antara aku dengannya. Kami sibuk
dengan pikiran masing – masing.
“Aku sangat menyukai caffe latte. Aku hanya ingin mewujudkan cita –
citaku. Hanya itu saja. Maka dari itu, aku memelajari nya mulai
sekarang.” Ucapnya memecah keheningan. Dia mengatakannya dengan penuh
rasa bersalah.
“Memang apa cita – citamu?”
"Pengusaha Caffe Latte. Dengan rasa memukau, harga terjangkau.”
Jawabnya dengan wajah berseri – seri dan senyum yang mengembang. Dia
memandang ke atas seakan – akan membayangkan segala yang dipikirkannya.
“Kau ini! Belum apa – apa, sudah membuat slogan saja.” Ucapku padanya
dan berhasil membuatnya menekuk wajahnya seketika.
“Kau mengacaukan imajinasiku saja.” Dia menggerutu sembari menanggapi ucapanku.
“Kau sering kesini?” tanyaku padanya.
“Ye (ya). Kau sendiri?”
“Setiap hari. Tapi, mengapa aku tak pernah bertemu denganmu?” Aku
melihatnya dengan tatapan ‘kau-manusia-kan?’. Dia menanggapi ucapanku
dengan mengangkat bahunya.
“Entahlah. Heum.. Sepertinya hari mulai malam. Sebaiknya aku pulang.”
Dia segera berdiri dan mengibaskan roknya. Setelah membawa semua
barangnya, dia mulai melangkahkan kaki meninggalkan tempat ini.
“Tunggu!” kataku cepat.
“Aku belum mengetahui namamu,” Ucapku lebih lanjut. Dia berbalik arah dan melihatku.
“Yeo Rae. Ahn Yeo Rae.” Jawabnya sembari tersenyum dan berbalik, melanjutkan langkahnya yang sempat terhenti.
Sejak
saat itu, kami bertemu setiap hari di sini. Bercanda, tertawa,
bercerita, melakukan semuanya bersama. Sampai suatu hari, hal yang
mengejutkan tiba.
“Hoya. Aku akan
ikut appa (Ayah) ku ke New York.” Tawaku yang sedari tadi terdengar,
pelan – pelan menghilang dan pudar. Aku menunduk, menatap Jollie yang
terduduk di pangkuanku dengan santainya.
“Untuk berapa lama?” tanyaku dengan nada datar.
Entahlah.”
“Kau akan kembali, bukan?” Yeo Rae tak menjawab pertanyaanku kali ini.
Apa ini pertemuan terakhir kami? Tapi, aku belum sempat menyatakan
perasaanku padanya.
“Kau.. Akan benar – benar pergi?” Aku memandangnya dengan tatapan
memohon. Dia menjawab pertanyaanku hanya dengan senyuman.
“Yeo Rae. Kau cukup mengetahui nya saja. Eum.. Aku menyukaimu.” Aku
memberanikan diri mengatakannya. Tanpa menanggapi pernyataanku, Yeo Rae
menarik tanganku dan meletakkan sesuatu dan segera melepaskan
pegangannya.
“Itu untukmu. Aku juga punya satu lagi. Simpan baik – baik,” ucapnya sembari mengukir senyum di wajahnya.
Yeo Rae berdiri dan merentangkan tangannya, merasakan udara di
sekitarnya. Aku ikut berdiri dan menyandarkan diriku di batang pohon
sembari menggendong dan membelai lembut Jollie. Tak lama, dia melihatku
dan tersenyum. Aku mendekatinya dan berdiri di depannya. Ku letakkan
Jollie di atas rerumputan dan tak lama, dia mendekapku erat. Aku
mendekapnya tak kalah erat. Aku takut akan merindukannya. Aku mencoba
menahan semua kesedihan dengan tetap tersenyum. Aku tak ingin membuatnya
terbebani dengan kesedihanku.
Tak lama
setelah kepergian Yeo Rae ke New York, aku mendapat beasiswa untuk
melanjutkan sekolah ke Seoul. Itulah alasanku mengapa aku meninggalkan
busan selama 10 tahun.
Aku merogoh tasku dan
mengeluarkan benda yang Yeo Rae berikan padaku. Masih aku simpan rapih.
Namun, apakah Yeo Rae masih menyimpannya? Ku harap begitu.
Gantungan ponsel kecil berbentuk bintang berwarna coklat yang di
dalamnya terdapat taburan pasir – pasir pantai dan replika kuda laut
kecil.
Aku benar – benar merindukannya. Apakah
dia merasakan hal yang sama? Aku kembali ke sini untuk bertemu dengannya
dan mengatakan perasaanku yang sebenarnya. Mengatakan bahwa perasaanku
lebih dari menyukainya. Bukan lagi perasaan suka seorang bocah ingusan
umur 13 tahun. Aku mencintainya. Walaupun aku tak tahu dia masih di New
York atau ada di sini. Walaupun aku tak tahu dia sudah memiliki someone special atau belum.
Aku sudah seperti orang yang putus asa. Orang yang kehilangan harapan
hidup. Mengharapkan orang yang tak jelas keberadaannya. Mengharapkan
orang yang tak pernah kita ketahui bagaimana perasaannya pada kita.
Aku
tak peduli akan kenyataan yang nanti akan terjadi. Aku tidak peduli
walaupun aku ke sini dengan penuh harap dan sangat sedikit kemungkinan.
Aku hanya bisa bergantung pada harapan yang terus hidup dan membara. Tak
peduli sesakit apa nantinya.
Setelah cukup lama
aku terdiam di tempat ini, ku lanjutkan perjalananku. Rasa rinduku
sudah benar – benar tak tertahan. Aku ingin segera bertemu dengan orang –
orang yang aku sayangi. Umma, Appa, dan Hyung. Namun sayang,
mungkin tak semuanya.
#####
baby baby geudaeneun caramel macciatto
yeojeonhi nae ibgaen geudae hyangi dalkomhae
baby baby tonight
baby baby geudaeneun café latte hyangboda
pogeunhaetdeon geu neukkim gieoghago itnayo
baby baby tonight
(Urban Zakapa – Café Latte)
Lagu ini menemaniku menikmati caffe latte yang tersedia. Sore ini, aku
memutuskan untuk mengunjungi salah satu café terdekat. Ya, sekedar
menenangkan pikiranku.
Sudah 1 bulan aku
berada di Busan, dan aku belum mengetahui keberadaan Yeo Rae. Namun, apa
salahnya jika aku tetap menunggu? Aku tak peduli dengan saran Appa
untuk mencari yeoja lain.
Saat aku sedang
asyik menyesap caffe latte yang ada, pandanganku tertuju pada salah
seorang yeoja. Bukan karena parasnya. Hanya saja, dia menenteng
ponselnya dan menggantunglah sebuah liontin berbentuk bintang. Yeoja itu
segera duduk membelakangiku dan memesan minuman yang sama denganku,
caffe latte. Apa dia Yeo Rae?
Aku mencoba mendekatinya. Aku mencoba menyebutkan namanya sembari menepuk pundaknya.
“Yeo Rae?” dia menoleh kebelakang dan memandangku dengan wajah heran.
“Mianhae (maaf). Saya bukan orang yang anda maksud,” ucapannya
membuatku salah tingkah. Aku tersenyum padanya. Aku masih belum yakin
kalau dia bukanlah Yeo Rae.
“Agashi (Nona),
boleh aku pinjam gantungan di ponselmu itu? Sepertinya menarik.” Aku
mencari – cari alasan. Dengan ragu, dia memberikan gantungan itu padaku.
Aku mengecheknya dan terkejut ketika mengetahui bahwa gantungan itu
tidak mempunyai ruang yang berisi pasir dan replika kuda laut seperti
punyaku dan Yeo Rae. Hal ini membuatku lebih malu dan salah tingkah. Aku
mengembalikan gantungan itu padanya dan kembali ke tempat dudukku.
Setelah aku selesai meminum Caffe Latte ku dan hendak keluar, seorang
pelayan tidak sengaja menumpahkan caffe latte nya dan mengenai bajuku.
Aku hanya memandang hampa bajuku yang berwarna putih dengan noda coklat.
Pelayan itu segera mengambil tisu dan membersihkan noda di bajuku.
“Mianhae (Maaf) tuan. Saya tidak sengaja.”
Tak sengaja mataku menatap nam tag yang dikenakannya.
Ahn Yeo Rae
Owner
Seketika aku langsung mendekapnya erat, sangat erat. Aku tak peduli
dengan orang – orang yang memperhatikan kami, dan aku tak peduli dengan
reaksinya nanti. Yang jelas, aku hanya ingin meluapkan rasa rinduku
padanya. Siapa yang menyangka aku bisa bertemu lagi dengannya?
Kemungkinannya sangat kecil, bukan?
Aku
melepas pelukanku dan melihat ekspresinya yang shock dan keheranan. Aku
segera merogoh tasku dan mengeluarkan gantungan itu. Wajahnya kelihatan
begitu terkejut ketika melihat gantungan coklat itu. Dia mengeluarkan
ponselnya dan menunjukkan gantungan bintang putih padaku. Setelah kami
sama – sama terdiam dalam keterkejutan, dia tersenyum dan memelukku
erat.
“Mari kita mencari tempat makan di luar,” ucapnya sembari menarik tanganku.
#####
“Bagaimana kabarmu?” tanyaku padanya saat kami sampai di rumah makan yang menyediakan kimchi.
“Baik – baik saja. Kau sendiri? Dan, mengapa kau kembali ke sini? Bukannya di Seoul lebih enak?”
“Tidak terlalu baik, karena aku sendiri selama 10 tahun tanpa dirimu.”
Aku sedikit tersenyum melihat Yeo Rae salah tingkah ketika mendengar
jawabanku.
“Oh ya. Sepertinya hidupmu
berjalan dengan baik, ya? Sepertinya cita – citamu sudah terwujud.
Membangun Café dengan slogan ‘Rasa memukau, harga terjangkau’.“ Aku
terkekeh ketika selesai menirukan cara bicara nya padaku 10 tahun yang
lalu. Dia menanggapi perkataanku dengan mengerucutkan bibirnya dan
memasang wajah sebal. Aku mengacak – acak rambutnya gemas.
Kami melewati waktu yang panjang dengan banyak topik pembicaraan.
Saling menanyakan banyak hal sampai makanan di hadapan kami habis tak
tersisa.
#####
Kami merasa semakin dekat setelah berbulan – bulan melewati hari
bersama. Dan hari ini aku dan Yeo Rae bersantai di Padang Ilalang tempat
kami bersama dahulu, bersama anjing pengganti Jollie, Jean. Ya, Jollie mati beberapa tahun yang lalu, dan Jean adalah anjing peliharaan eomma-ku.
“Ah ya, tumben sekali kau kemari? Biasanya kau lebih senang bersantai di café mu.” Tanyaku padanya.
“Café ku sedang di sewa oleh salah satu pelanggan. Jadi, untuk apa aku
di sana? Menemani pelanggan itu?” Yeo Rae tertawa kecil.
“Aish.. Terserah kau saja. Ah ya, ayo ikut denganku!”
“Kemana?”
“Nanti kau akan tahu sendiri. Kajja! Tapi, tunggu. Tutup matamu dengan
ini.” Aku menyodorkan kain hitam berukuran sapu tangan laki – laki untuk
menutupi matanya. Setelah dia menutup matanya, aku menggendong Jean
dan menuntun Yeo Rae menuju tempat yang aku siapkan.
#####
“Kita sampai!”
Aku menghentikan langkahku di depan tempat yang aku tuju. Aku membuka
pintu masuk dan menuntunnya. Ketika aku mendapatkan tempat yang nyaman,
aku menyuruhnya berhenti.
“Buka penutup matamu.”
Seketika, Yeo Rae langsung melepaskan kain hitam itu dan ternganga melihat apa yang ku suguhkan di depan matanya.
Ruangan yang di rancang manis dengan lampu yang dipadamkan serta lilin –
lilin kecil di sekitarnya yang membuat kesan romantis. Dinding –
dinding yang dihiasi tali berselimut rumput sintetis yang dikaitkan
membentuk lengkungan mengitari langit – langit ruangan. Dinding yang
menghadap pintu masuk di depan meja kasir yang dihiasi lampu bertuliskan
“Saranghae Yeo Rae”. Dan satu – satunya meja besar di tengah ruangan
yang dihiasi beberapa cangkir caffe latte yang membentuk hati dan kue
tart berukuran sedang di tengah dengan lilin – lilin kecil menancap di
atasnya.
Aku hanya menyandarkan punggungku di dinding sembari menggendong Jean ketika melihatnya kebingungan.
“Kau memang harus menemani pelangganmu, Yeo Rae.” Aku memecah
keheningan. Yeo Rae hanya menatapku dengan tatapan membunuh karena dia
merasa aku mengejeknya, dan aku hanya menunjukkan senyum kemenangan.
“Kau terlalu sibuk bekerja, sampai lupa dengan hari ulang tahunmu,” lanjutku setelah lama diam.
Dia maju beberapa langkah ke depan, menghampiri meja di hadapannya.
“Make a wish and blow it,” ucapku padanya. Dia melihatku sebentar dan
menutup matanya. Tak lama, ia membuka mata nya dan meniup kobaran kecil
di atas lilin itu.
Aku maju beberapa langkah
sampai posisiku sejajar dengannya. Ku letakkan Jean di bawah dan
kembali berdiri tegak. Ku genggam tangannya dengan lembut.
“Yeo Rae.” aku menatapnya dalam, sangat dalam.
“Yang aku harap sekarang hanyalah kau dan aku akan menjadi caffe latte
yang sempurna.” Yeo Rae menatapku heran setelah aku mengucapkan
permintaanku tadi.
“Aku hanya ingin kau dan aku
layaknya caffe latte yang sempurna. menjadi kopi dan susu yang akan
menjadi sangat pas ketika di campur menjadi caffe latte. Yang semua
orang senang dan ingin meminumnya ketika melihat betapa serasinya jika
kita bersatu.”
Aku berlutut dengan tetap menggenggam tangannya.
“Maukah kau menjadi pelengkap caffe latte-ku?” ucapku tegas. Aku tak akan menunggu lebih lama lagi untuk hal ini.
Dia terlihat berfikir. Aku menatapnya sembari mengharapkan jawabannya.
Dia menghela nafas panjang dan menggeleng. Aku menatap nya heran,
menunjukkan ketidak mengertianku.
“Aniyo. Aku tak menolak.”
Aku mengembangkan senyumku dan segera bangkit lalu memeluknya. Mendekapnya erat. Merasakan kelegaan yang menyeruak.
“Tapi…,” ucapnya sembari melepaskan pelukanku.
“Kau harus menghabiskan caffe latte ini,” ucapnya. Dia menunjukkan caffe latte di meja dengan lirikan matanya.
“Ha? Berapa banyak?”
Yeo Rae menghitung caffe latte yang ada di meja dan angkat bicara.
“Semua. 15 Cangkir saja,”
“MWO?!”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar